Selasa, 01 Februari 2011

THAT'S WHAT FRIENDS ARE FOR

Ya, nggak bisa dipungkiri setiap orang pasti setuju kalau kita butuh teman. Seperti yang setiap orang pelajari waktu di tingkat SD : "Manusia adalah makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain." Sangat nggak mungkin rasanya ada orang yang bisa benar-benar hidup tanpa ada orang lain di sampingnya.

Bayangkan aja kalau di bumi sebesar ini cuma kita sendiri yang hidup. Kita punya semua. Air punya kita, udara punya kita, tanah punya kita, tumbuhan punya kita, semuanya. Tapi rasanya percuma kalau semua itu ada, tapi kita menikmati itu semua sendiri, alone. Tertawa sendiri, menangis sendiri, berjalan sendiri, makan sendiri, semuanya sendiri. Sangat-sangat nggak enak.

Kalau mau diperluas, teman nggak hanya orang yang kita anggap 'teman' aja yang bisa dikatakan teman. Orangtua, keluarga pun bisa menjadi teman. Tapi di sini, kata 'teman' ingin aku persempit menjadi sahabat. Sahabat yang selalu ada di saat senang dan nggak 'menghilang' di saat kita sedang jatuh dan butuh dia. Sahabat yang nggak hanya ingin dimengerti, tapi juga mengerti kita. Sahabat yang tanpa ditanya tau kapan kita senang, sedih, kecewa, marah, sakit. Walaupun terkadang dia sendiri nggak tau apa sebenarnya yang buat kita senang, sedih, kecewa, ataupun marah.

Bicara tentang sahabat, bukan berarti aku men-judge diri aku sempurna untuk dianggap menjadi seorang sahabat. Aku juga manusia biasa yang punya banyak salah. Aku nggak gampang buat cerita dan terbuka dengan orang-orang yang menganggap aku sahabat. Nggak jarang orang kecewa dengan sifat aku yang ini.

Aku punya trauma sendiri dengan masalah keterbukaan dengan orang lain. Once upon a time, di saat aku udah sangat percaya dengan orang yang aku sebut sahabat, orang yang aku panggil sahabat dan orang yang sangat kubanggakan sebagai seorang sahabat, dengan teganya dia membuat sesuatu yang sangat nggak aku bayangkan dia tega ngelakuin itu sama aku, membuka apa yang seharusnya tertutup, mengobrak-abrik apa yang yang seharusnya tersusun rapi. Kalau aku mau, bisa aja waktu itu aku ngelakuin hal yang sama dengan yang dia lakukan. Tapi ntah kenapa waktu itu aku masih menganggap dia itu sahabat. Aku ngerasa, aku nggak beda dengan dia kalau itu aku lakukan juga. Sampai akhirnya, sejak itu sampai sekarang aku nggak bisa seterbuka dulu dengan dia, apalagi orang lain.

Terkadang seorang sahabat butuh dan ingin tau apa yang sedang kita alami. Dia mungkin tau kalau kita sedang ada masalah, tapi dia nggak akan tau masalahnya kalau kita nggak mau cerita. Dan ini membuat beberapa orang jadi nggak terlalu dekat dengan aku. Sebenarnya bukannya aku nggak mau cerita dengan mereka. Aku bakal cerita kalau itu memang membuat aku nyaman dan lega. Aku juga bakal cerita kalau waktu dan orangnya memang tepat untuk diceritakan, tanpa bermaksud untuk memilih-milih teman sebagai tempat cerita keluh-kesah a.k.a curhat.

Mungkin itu kembali lagi ke trauma aku yang membuat aku nggak bisa terlalu terbuka dengan orang lain yang terbuka ama aku. Dan aku juga bukan orang yang terlalu percaya dengan orang lain sebagai tempat curhat. Ditambah lagi dengan pikiran yang nggak ingin melibatkan orang lain dengan masalah aku dan membuat aku sebagai beban bagi dia.

Inilah aku yang mungkin membuat kalian sering kecewa, kesal, atau pun marah.Tapi dengan semua keterbatasan dan kekuranganku. Aku selalu mencoba untuk bisa menjadi lebih baik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar